Subayang merupakan sungai yang melintasi enam kenegerian yaitu, kenegerian Pangkalan Serai Paling ujung, kenegerian Terusan, Kenegerian Aur Kuning, Kenegerian Gajah Bertalut, Kenegerian Malako Kociak dan Kenegerian Batu Sanggan. ke enam kenegerian ini berada didalam satu kekhalifahan bernama Kekhalifahan batu Songgan.
Enam Kenegerian ini memiliki budaya dan tradisi dalam penjagaan dan perlindungan, di tiap kenegerian memiliki lubuk larangan yang diperuntukan bagi perlindungan kekayaan hayati di sungai, di darat zona perlindungan bernama imbo gano yang dikhususkan untuk perlindungan kekayaan hayati dan flasmanutfah.
sebelum kemerdekaan masyarakat adat hidup dengan tenang dan makmur di wilayah adat mereka, kekayaan alam bisa mendukung kehidupan masyarakatnya, sistem berladang berpindah mereka lakukan dengan tetap memegang kaidah-kaidah kelestarian dan setiap pembakaran ladang maka api tidak menjalar kemana ataupun kehutan yang ditidak di tebang. setelah Indonesia masdeka dan zaman Orde baru serta Reformasi berladang sudah dilarang oleh pemerintah, sehingga sistem kehidupan perekonomian mereka runtuh dan masyarakat menjadi konsumtif dan tidak produktif. Semua kebutuhan sandang dan pangan di datangkan dari Ibukota kecamatan.
terlebih sejak Seluruh wilayah adat di enam kenegerian ditunjuk dan di jadikan kawasan lindung suaka margasatwa bukit rimbang bukit baling. perekonomian masyarakat adat di DAS Subayang bagai terjajah di Negara yang merdeka. mengandalkan kehidupan kepada karet, namun harga karet tidak pernah bersahabat, berbalak (berkayu) menjanjikan namun resiko sangat besar dan apalagi seringnya razia. Semua itu menambah terupuruknya kehidupan masyarakat yang dulu hidup makmur dan mereka.
kemiskinan masyarakat di enam kenegerian terus berlanjut, negara seakan-akan menutup mata, dana desa milyaran di salurkan namun tidak membuat masyarakat meningkat kehidupannya. Kebijakan Pengelolaan Kawasan hutan yang timpang dimana tidak memperhatikan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat adat dan tradisi lokal. Pemaksaan peraturan kepada masyarakat adat oleh negara terus terjadi sehingga kemerdekaan pengelolaan wilayah adat yang selama ini dilakukan dengan kebijakan lokan dan berjalannya hukum adat untuk tetap menjaga kelestarian di saat pemerintah memaksakan kehendak untuk mengatur sistem pengelolaan kawasan hutan yang cacat menjadikan masyarakat adat yang sudah bermukim ratusan tahun sebelum negara ini ada. disaat masyarakat ingin hidup sejahterah Negara mengeluarkan peraturan yang tidak berpihak kepada mereka.
Sekarang sudah tahun 2023 kehidupan perekonomian masyarakat di enam kenegerian masih seperti berjalan di tempat, setiap kenegerian banyak masyarakat yang telah meninggalkan kampung halaman demi mengadu nasib kekota, walau di sana mereka menjadi buruh perkebunan sawit atau menakik karet milik orang lain. Namun itu tetap dilakukan masyarakat agar perekonomian mereka terusa berjalan dan hidup mereka terus berlanjut dan anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan lebih baik.
Rancangan Undang-undang perlindungan masyarakat adat tetap tidak di gubris oleh para Anggota dewan DPR/MPR yang hidup bergelimang gaji dan fasilitas mewah di senanyan, sedangkan kehidupan masayrakat adat semakin hari semakin ditekan dengan segala peraturan yang berpihak kepada pengusaha yang memiliki modal besar. Dimana negara berdiri saat ini ketidak berpihakan kepada masyarakat adat seakan makin memuncak, dan apakah negara ini akan sanggup menghadapi jika seluruh masyarakat adat bersatu untuk memperjuangkan hak mereka dan memutuskan pisah dari Indonesia, ini bisa saja terjadi jika pemerintah tidak memiliki solusi dan keberpihakan kepada masyarakat adat dalam mengelola wilayah adat mereka sendiri.