Swasembada Pangan ada di Masyarakat Adat “Kawasan Hutan dan permasalahannya”

Dokumentasi : Fahmi Pemuda Adat Malako Kociak

Panen Padi ladang dilakukan oleh masyarakat adat kengerian Malako Kociak pada kamis 10 April 2025. Setelah sekian lama tidak pernah berladang dan sejak pelarangan untuk berladang di tahun 2025 seorang masyarakat adat di Malako Kociak membuka kapalo ladang lama yang merupakan kebun karet tua menjadi ladang yang di tanami padi dan kebutuhan rumah tangga.

Abas merupakan seorang petani mencoba berladang walau dalam keadaan ketakutan dan was-was, namun Abas memberanikan diri untuk memulai berladang Kembali karena hidup semakin sulit dan mempertahankan  budaya yang telah diwariskan secara turun temurun sebelum Indonesia ini Ada.

Abas mengatakan membuka ladang ini dalam keadaan was-was karena takut ditangkap oleh pihak berwajib, ini dikarenakan akan membakar lahan yang akan dijadikan ladang, walau sudah memakai system yang telah diwarisi secara turun temurun. Selain itu abas juga mempertahankan sebuah harta berupa benih padi yang saat ini sudah sulit mendapatkan beih padi ladang. Dulu Ketika berladang belum dilarang, di subayang ini memiliki sekitar delapan jenis padi ladang, diantaranya ada padi godang, padi kociak, padi puluik, padi sigha (Merah), padi oun (harum), dulu semua ditanam dalam satu petak ladang. Selain padi diladang juga di tanam rempah dan bumbu dapur seperti cabe, jahe, kunyit, lengkuas, gando (pengganti bawang), sayur mayur, tebu (menjadi sumber gula). Dan kita dulunya sudah Merdeka dan swasembada pangan ujar abas.

Berladang merupakan Tradisi Masyarakat adat yang harus dipertahankan karena dengan beladang masyarakat adat bisa swasembada Pangan.

Tradisi berladang ini sudah hilang sejak penetapan Kawasan lindung SM Rimbang baling oleh pemerintah pada tahun 1982. Ditambah sejak tahun 1990 pemerintah melarang pembakaran hutan dan lahan, yang mana saat itu banyak Perusahaan yang membuka lahan konsesi mereka dengan membakar, dan ini berdampak Panjang kepada masyarakat adat yang mana tradisi berladang dilakukan secara turun temurun.

Bagi masyarakat adat di DAS Subayang khususnya di luhak Batu Songgan berladang saat ini merupakan system kucing-kucingan antara masyarakat adat dengan BBKSDA Riau.

Berladang Kaya akan Prosesi Adat dan budaya lokal

Bagi masyarakat adat di daerah aliran Sungai Subayang, berladang sudah tidak asing lagi bagi mereka berladang merupakan sumber penghidupan. Diladang mereka bisa menghasilkan gula, bumbu, sayur mayur dan beras, komoditi untuk menunjang kehidupan rumah tangga terjadi di ladang.

Ketua Masyarakat Adat Kenegerian Malako Kociak Ajismanto mengatakan berladang ini semenjak dimulai hingga menuai banyak prosesi adat yang dilaksanakan. Di saat menentukan lokasi ladang yang akan dibuat dilakukan proses panjang dan penentuan kelayakan lokasi, lalu naik keproses berikutnya yaitu menebas, sebelum menebas dilakukan Penawar oleh dukun untuk melancarkan dan memohon izin untuk melakukan menebas hingga proses tebang, bakar, perun, menunggal, proses menyambut padi buntiang hingga menuai, semua melalui prosesi adat yang dipandu oleh orang tua kampung/dukun.

Pada proses menugal biasanya yang memiliki ladang akan mengundang sanak saudara dan ninik mamak untuk mengutarakan hari baik bulan baik untuk menugal padi diladang, di proses ini banyak yang akan datang, tua muda datang Bersama, dan dulu proses menuggal ini merupakan proses ajang mencari jodoh juga ujar Ajismanto.

Abas mengatakan sebelum proses menuggal dilakukan, bibit padi direndam dua sampai tiga malam lalu di bacakan doa untuk proses menuggal keesok hariannya atau dalam istilah padi turun kaladang. Setelah padi tumbuh subur proses selanjutkan dilakukan adalah besiang, dan disaat padi mulai bunting/buntiang maka dilakukan proses mengundang sanak saudara untuk mendoa agar padi yang saat ini bunting agar di bernaskan nantinya. Disaat padi menjelang menguning dilakukan Kembali proses mendoa untuk keselamatan padi hingga waktu musim tuai tiba, di saat proses menuai padi pemilik ladang mengundang Kembali ninik mamak sanak saudara untuk makan Bersama dan mendoa agar proses menuai berjalan lancar dan padi selamat.

Dalam prosesi menuai ini, padi pertama diambil dan di doakan agar menjadi berkah bagi pemilik ladang dan ucapan Syukur pada sang Pencipta, pada tuai pertama ini setelah di doakan di tumbuk untuk dijadikan emping dan dimakan Bersama-sama. Ujar Abas.

Kebijak di buat masyarakat adat menderita

Masyarakat adat memiliki pola perlindungan terhadap kekayaan alam di wilayah adat, jauh sebelum Indonesia Merdeka dan Negara ini ada, pranata perlindungan alam telah dilakukan dalam bentuk pembagian tata Kelola wilayah adat. Masyarakat adat memiliki imbo gano yang menjadi tempat perlindungan segala jenis tumbuhan dan satwa. Hutan Cadangan diperuntukan bagi Cadangan kayu, lahan pertanian dan ring perlindungan dari imbo gano, Perkebunan dan perladangan, kuburan, tanah untuk sekolah, masjid, dan kantor desa, boncah umbai yang diperuntukan untuk sumber bahan baku anyaman, perumahan, dan Sungai. Di Sungai ada Kawasan perlindungan bagi kekayaan hayati Sungai berupa lubuk larangan.

Namun system perlindungan masyarakat adat ini tidak pernah dijadikan patokan pemerintah disaat menetapkan wilayah adat menjadi Suaka masrgasatwa bukit Rimbang Bukit Baling. Tapal batal tidak jelas, penetapan tidak pernah melibatkan masyarakat adat yang merupakan pemegang hak ulayat.

Kebijakan perlindungan dan penetapan Kawasan hutan menjadi timpang, sehingga mengorbankan masyarakat adat uang juga berhak mendapat hidup yang layak, perekonomian yang baik, serta mendapatkan Pendidikan yang baik untuk anak-anak kami, kami tidak meminta yang muluk-muluk kepada pemerintah, kami hanya berharap ada kelonggaran bagi masyarakat adat untuk bisa berladang Kembali agar kami Kembali swasembada pangan.  ujar Ajismanto datuk pucuk kenegerian Malako Kociak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *